Disclaimer:
Naruto © Masashi Kishimoto
Warning!
Oneshot. Canon. Timeline terserah, pokoknya sebelum
Sasuke Retrieval arc. ;) *digeplak* SasuNaru or NaruSasu friendship. Kemungkinan
ada OOC. Awas ada typo(s), dan
lain-lain.
Summary:
-CANON-/”Naruto sakit?” Sasuke
tak bisa membayangkan penyakit apa yang mampu melumpuhkan Naruto,
tapi…/”Sasuke? Mau apa kau kemari?”/”Mau mencekikmu.”/”HAH?”/SasuNaru
Friendship/Review and concrit, minnaaa?
Read and enjoy,
then!
.
.
.
MENJENGUK SEORANG TEMAN
.
.
.
“Naruto sakit.”
Sasuke berhenti
mengunyah. Tangan berisi onigiri-nya
menggantung di udara. Dia menatap sang guru yang duduk di hadapannya dengan
heran. Meski tak bertanya, matanya mampu menyiratkan rasa ingin tahu yang ada
dalam pikirannya, seolah sedang berkata, “Orang seperti Naruto bisa sakit?”
atau, “Sakit apa dia?” dan semacamnya.
Mengerti akan maksud
hati Sasuke, Kakashi pun menjelaskan. “Aku baru menjenguknya tadi pagi. Dia
demam,” tuturnya. “Tengoklah dia, Sasuke.”
Sasuke mendengus. “Heh.
Untuk apa? Paling hanya sakit biasa. Sehari-dua hari juga sembuh,” tolaknya
apatis. Dia kembali melahap onigiri-nya,
mengalihkan pandang keluar kedai makan yang sedang dikunjunginya bersama
Kakashi. Tatapannya terpaku pada lalu-lalang orang di jalanan, seolah hal itu
sangat menarik perhatiannya–padahal pikirannya berlarian ke hal-hal lain.
“Masalahnya,
dia tidak mau dibawa ke Rumah
Sakit,” kata Kakashi sabar. Dia menutup Icha-Icha
Paradise dan menatap sang murid dengan sorot mata penuh pengertian. Dia
tahu bahwa membujuk Sasuke tidak semudah yang dia bayangkan. “Kau
pasti tahu dia tak akan mau makan
apapun selain ramen–dan obat jelas bukan termasuk makanan favoritnya. Jangan lupa bahwa dia tak
pernah mau makan sayuran. Apa kaupikir demam itu bisa datang dan pergi begitu
saja, hm?”
Sambil mengunyah,
Sasuke diam-diam membenarkan apa yang dikatakan Kakashi. Sepanjang yang bisa
dia ingat, makanan yang tiap hari dimakan Naruto adalah ramen–kecuali jika ada
traktiran makan di Yakiniku Q bersama anggota Tim Sepuluh. Dia tak pernah mendapati Naruto memakan
rerumputan–ralat, sayur-sayuran–seperti yang selalu dimakan Sakura tiap kali
dia sedang berdiet, atau setidaknya makan buah-buahan sebagai penambah serat
dan vitamin seperti yang biasa dia konsumsi. Dia bahkan mulai mengira cita-cita
Naruto di masa depan bukanlah menjadi Hokage,
melainkan menjadi pemilik pabrik ramen instan terbesar di seluruh jagat shinobi–atau mungkin dua-duanya?
“Kenapa harus aku?”
tuntut Sasuke. “Suruh saja Sakura,” katanya memberi opsi lain. Bukan usul yang buruk,
memang. Dia dan Kakashi pun tahu, jika Sakura yang meminta–maksudnya,
memaksa–maka sekardus obat pun akan diminum oleh Naruto dengan senang hati. Persentase kesembuhannya jika dijenguk Sakura pasti jauh lebih tinggi
dibandingkan jika dijenguk olehnya.
“Sekali-kali, kau yang
harus melakukannya, Sasuke. Kau tidak sungguh-sungguh tidak peduli pada Naruto,
‘kan?” kata Kakashi. “Lagipula, apa susahnya menjenguk seorang teman?”
Sasuke tertegun. Dia
menatap gelas berisi ocha yang ada di
tangannya sembari merenung. Kalimat terakhir Kakashi serasa berdengung di
telinga, memantul-mantul di rongga kepalanya dan enggan
keluar meski dia memaksa.
.
.
Menjenguk seorang teman.
.
.
Entah kenapa dia merasa asing dengan kalimat
itu. Dan… apa dia yang naïf, atau kalimat itu memang terdengar... indah?
“Huh.” Sasuke
menghabiskan ocha-nya dalam beberapa
tegukan lalu meletakkan gelasnya diatas meja. Dia menautkan jemari didepan
wajah dengan alis berkerut.
“Jangan lupa bawa
buah-buahan saat menjenguknya, ya,” ujar Kakashi seraya tersenyum hangat–meski
yang terlihat hanya sebelah matanya yang menyipit membentuk bulan sabit. Sasuke
merengut, menatap tajam pada sang guru dengan sedikit salah tingkah.
Kelihatannya, apa yang dia pikirkan bisa dibaca oleh jounin muda itu. Dan, Kakashi tak pernah gagal dalam membujuk
orang–bahkan Sasuke sekalipun.
.
~ MENJENGUK SEORANG TEMAN ~
.
Pukul empat sore, Sasuke berjalan pulang
memasuki distrik klan Uchiha. Seperti biasa, sepi menyambutnya. Rumah-rumah tak
berpenghuni berjejer di tepian jalan, mengawasi tiap langkah tegas yang dia
ambil. Tapi, Sasuke sudah lebih dari terbiasa untuk menghiraukan keheningan
yang menyusup.
Setelah sampai di
rumahnya, Sasuke segera membersihkan diri. Latihan intensif bersama Kakashi untuk
meningkatkan jurus Chidori-nya selama
beberapa hari terakhir ini memang cukup menguras cakranya. Dengan handuk yang
masih tersampir di kepala, Sasuke merebahkan diri diatas
ranjang, menatap
langit-langit kamar. Dia memejamkan mata sejenak, dan kata-kata Kakashi di
kedai tadi kembali terngiang di kepala.
“Lagipula, apa susahnya menjenguk seorang
teman?”
Sasuke melirik ke meja disamping lemari
pakaiannya, kearah foto Tim Tujuh yang terpampang dalam bingkai kayu mini. Sepasang obsidian-nya terpaku pada
wajah rekan setim bersurai pirang
yang memasang wajah masam disana.
Naruto tinggal sendirian di apartemen, dan dia
sedang sakit. Tapi, Sasuke yakin Naruto pasti bisa mengurusi hidupnya sendiri, meski selama ini dia tampak kacau dan serampangan. Bukankah selama ini
Naruto terbiasa seperti itu? Sama seperti dirinya yang selalu melakukan apapun
sendiri setelah hampir seluruh keluarganya tewas. Naruto bukan orang lemah yang
semudah itu ditumbangkan oleh penyakit begitu saja. Itulah dasar keyakinannya.
Jadi, menjenguk Naruto adalah hal yang sia-sia. Heh, lagipula, apa yang akan
dikatakan si dobe itu jika tiba-tiba
mendapati rival sepanjang masanya tiba-tiba berdiri di depan pintu apartemennya
dan berbaik hati menjenguknya?
Tapi...
“Cih. Dasar suka merepotkan orang.”
Sasuke bangkit berdiri dan keluar dari kamar.
Yah, sesungguhnya tidak masalah juga jika dia menengok keadaan
Naruto. Entah kenapa hati kecilnya
tak bisa tenang sebelum memastikan apakah si mantan murid Akademi urakan itu
baik-baik saja.
.
~ MENJENGUK SEORANG TEMAN ~
.
Ting! Tong!
Satu menit. Dua menit.
Ting! Tong!
Masih tak ada jawaban.
Kening Sasuke berkerut. Dia hendak memencet bel lagi–kalau masih belum dibuka
juga, sekalian dia akan menggedornya–ketika didengarnya suara serak menyahut
dari balik pintu.
“Iya, iyaaa. Sebentaaar!”
Suara langkah mendekat
dan beberapa barang jatuh terdengar, diiringi umpatan-umpatan kecil. Sasuke
memutar bola matanya. Dia bisa membayangkan apa yang terjadi dibalik pintu ini.
Cklek!
“Siapaaaa?”
Sosok pemuda berusia
tiga belas tahun membuka pintu dengan malas. Rambut pirangnya awut-awutan,
dengan celana pendek biru dan kaus putih polos yang melekat pada tubuhnya.
Begitu melihat siapa tamu yang bertandang ke apartemennya malam-malam begini,
kedua iris sapphire-nya membulat.
“Sasuke?” kata Naruto
tak percaya. “Mau apa kau kemari?” Pertanyaan bodoh–seperti biasa.
“Mau mencekikmu.”
“HAH?”
“Tentu saja
menjengukmu, Baka,” kata Sasuke.
Namun, sayang, kata-kata itu tak mampu keluar dari bibirnya–entah kenapa.
Akhirnya, yang dia katakan adalah, “Aku cuma mampir. Kebetulan lewat di sekitar
sini.”
Naruto speechless. Sasuke apalagi.
Hah? Apa kebodohan Naruto menular padanya?
Alasan macam apa itu? Si
bungsu Uchiha itu merutuk dalam hati.
Naruto terpaku
mendengar alasan-nyaris-tak-logis milik Sasuke. Bengong, lebih tepatnya. Sasuke
jadi salah tingkah. Dia berdecak kesal dan memasang wajah semasam mungkin–untuk
menutupi kegugupannya gara-gara lidahnya terpeleset, eh?
“Heh. Kau tidak mau
mempersilakanku masuk?”
Sejenak Naruto masih
setia dalam ekspresi konyolnya, namun dia buru-buru menguasai diri dan
menyadari bahwa dia membiarkan Sasuke terus berdiri diluar pintu apartemennya.
“Oh, iya! Masuk saja! Maaf!”
Naruto menyingkir ke
samping, memberi jalan agar Sasuke bisa masuk kedalam. Diam-diam senyumnya
terkembang lebar saat si bungsu Uchiha itu berjalan melewatinya.
Setelah melepas alas
kaki, Naruto membimbing Sasuke masuk ke ruang yang lebih dalam.
“Maaf, ya, apartemenku
berantakan,” kata Naruto seraya memamerkan cengiran khasnya, dengan tangan yang
menggaruk-garuk belakang kepala. Sasuke mengamati tempat dimana sang sahabat
tinggal selama ini. Ini kali pertama dia mengunjungi apartemen Naruto.
Apartemen itu tidak terlalu besar. Hanya terdiri dari pintu masuk, ruang tengah
yang sekaligus menjadi ruang makan bagi Naruto–karena dia tinggal sendiri dan
tak butuh ruang makan khusus–, dapur yang bersisian dengan kamar mandi dan
toilet, kamar tidur, dan beranda yang merangkap sebagai tempat menjemur
pakaian.
Dan, persis seperti
yang dikatakan Naruto, tempat ini berantakan–ralat, sangat berantakan. Ada baju-baju entah kotor atau bersih yang
tergeletak di meja ruang tengah, bekas bungkus-bungkus ramen instan di
sudut-sudut ruangan, gulungan-gulungan entah apa isinya yang bertebaran diatas
lantai, juga berbagai macam barang lain yang Sasuke tak mau repot menyensus
semuanya–namun matanya menyipit saat mengenali sebuah mantra peledak tercecer
begitu saja dan nyaris dia injak. Huh, apa Naruto berniat membunuhnya serta
meledakkan apartemen ini sekaligus?
Sasuke mendengus kesal
melihat pemandangan ini. Dia juga tinggal sendirian, tapi dia tak akan pernah
membiarkan rumahnya begitu berantakan hingga terasa menyesakkan mata. Bagaimana
bisa Naruto hidup dalam gunungan sampah dan debu seperti ini?
“Ini kaubilang
berantakan? Lebih mirip rumah yang ditelantarkan bertahun-tahun,” ejek Sasuke
sarkastis. Jleb! Ucapannya selalu
menancap bagai pisau belati, seperti biasa.
“Hehe, kalau kau mau,
silakan bersihkan,” Naruto hanya meringis menghadapi celaan Sasuke. Dia meraih
beberapa bungkus bekas ramen terdekat dan membawanya ke dapur. “Duduk saja
disana, Sasuke! Akan kubuatkan ramen!” teriaknya.
Sasuke menatap lantai
yang nyaris tak memiliki ruang bahkan untuk sekadar duduk. Benar-benar parah si
Naruto ini. Seharusnya–
PRAAANG!
Sasuke terperanjat. Dia
buru-buru berlari menuju dapur, tempat asal suara itu. Disana, dia menemukan
Naruto yang berpegangan pada sisi kulkas mini-nya sambil memegang kepala.
Pecahan mangkuk terserak disekitar kakinya.
Sasuke nyaris lupa
bahwa Naruto sedang sakit.
“Ck! Kau ini harusnya
tiduran saja sana!”
“Aku tidak apa-apa,
kok. Tenang saja,” Naruto mencoba tersenyum walau gagal. “AUW!” jeritnya, saat
kakinya yang sembarangan melangkah menginjak pecahan mangkuk. “Sial! Aduuhh!”
“Jangan bergerak lagi,
Naruto Bodoh!” Sasuke buru-buru menghampiri, lalu mengangkat kaki Naruto yang
terkena pecahan mangkuk.
“Huah! Mau apa kau?”
teriak Naruto kaget. Dia buru-buru berpegangan lagi pada kulkas karena tubuhnya
oleng saat Sasuke menarik sebelah kakinya. Saat ini, Sasuke tengah berjongkok di
depannya.
“Menarik pecahan
mangkuknya, Bodoh,” desis Sasuke tajam. Dia mengerutkan alis saat merasakan
suhu tubuh Naruto yang diatas normal saat menyentuh kaki si penggila ramen itu.
Bagaimana bisa dia
masih mampu berjalan
dengan suhu tubuh setinggi ini? “Bodoh. Kau ini benar-benar tidak bisa menjaga
tubuh, ya?”
“Bisakah kau berhenti
memanggilku ‘Bodoh’? Namaku Naruto!” sungut Naruto kesal.
“Kau memang pantas
dipanggil seperti itu. Jadi, diamlah!” Sasuke kini menarik pecahan kaca yang
menancap di telapak kaki Naruto, sementara si shinobi pirang itu merengut kesal. Karena pecahannya tidak terlalu
besar dan tidak menancap terlalu dalam, Sasuke bisa dengan mudah menariknya.
“Kau punya alkohol atau obat luka?”
“Eeh? Umm,
kelihatannya tidak ada…”
“Jangan bilang kau
juga tidak punya perban–”
“Memang tidak,” potong
Naruto cepat.
Rasanya Sasuke ingin
menjitak kepala Naruto saat itu juga. Tapi, berhubung sekarang bukan momen yang
tepat, niatnya pun urung. Dia melesat keluar dapur dan kembali dengan selembar
kaus milik Naruto. “Aku minta ini,” tegasnya.
Kedua alis Naruto
terangkat. “Untuk apa?”
“Untuk ini.”
Tanpa ba-bi-bu, Sasuke
merobek kaus malang itu. Naruto bengong.
“AAAAAH! TEMEEEEE~ ITU
KAUS KESAYANGANKU, TAHUUUU!”
Yah, bagaimanapun,
Naruto dan Sasuke jika dipertemukan dalam satu ruang sama, tak akan pernah
melewatkan waktu tanpa pertengkaran seperti ini, ‘kan?
.
~ MENJENGUK SEORANG TEMAN ~
.
Setelah terjadi
perdebatan sengit yang cukup lama, akhirnya Sasuke menang–seperti biasa–dan
berhasil menyeret Naruto untuk berbaring di ranjang. Kekeraskepalaan Naruto
memang selalu sukses menguras kesabaran Sasuke dan melunturkan sikap stay cool-nya.
Setelah mengompres
kening Naruto dengan kain lap hangat, Sasuke berjalan menuju dapur.
“Apa kau punya makanan
lain selain ramen, Naruto?” Sasuke bertanya dengan suara agak keras. Dia
mengedarkan pandang ke seluruh penjuru dapur mini itu, tapi nyaris tak ada yang
dia temui disana kecuali beberapa peralatan masak dan makan sederhana. Tidak
ada bahan makanan sama sekali.
Jawaban yang dia
dengar hanya racauan Naruto dari ruangan sebelah–kamarnya. Sasuke melangkah
menuju kulkas dan setelah membukanya, dia menarik napas panjang. Disana hanya
ada berbungkus-bungkus ramen instan dan beberapa kotak karton susu ukuran
besar.
“Astaga, Dobe…” desah Sasuke frustasi. Dia
menggeleng-gelengkan kepala, tak habis pikir. Bagaimana bisa dengan makanan
seperti ini Naruto tetap sehat dan segar bugar setiap hari–bahkan terlihat
seperti anak hiperaktif seperti itu?
Si bungsu Uchiha
menutup pintu kulkas. Harusnya dia turuti saja kata-kata Kakashi untuk
membawakannya buah-buahan tadi.
.
~ MENJENGUK SEORANG TEMAN ~
.
“Makan ini.”
Naruto melirik kearah mangkuk yang disodorkan
Sasuke dengan tak berminat, lalu
melirik pada orang yang tengah menyodorkan mangkuk kearahnya.
“Ramen?”
“Bubur.”
“Tidak mau.”
“Makan.”
“Ogah.”
“Aku sudah membuatkannya. Kau harus
memakannya, Naruto.”
“Aku bilang, aku tidak mau, Sasuke.”
“Makan atau kusita semua ramen instanmu,” ancam Sasuke kesal. Dia bukannya sudi membujuk Naruto untuk makan
begini. Tapi, entah kenapa ada perasaan aneh yang menyuruhnya untuk tetap
tinggal dan memaksa Naruto makan, alih-alih pulang ke rumah seperti yang sudah
dipikirkannya sejak tadi.
Naruto membelalak mendengar ancaman itu.
Sukses, rupanya. Dengan malas, Naruto bangkit duduk, menyandarkan punggungnya
ke sandaran tempat tidur. Dia mengambil-alih mangkuk berisi bubur dari tangan
Sasuke.
Naruto mengernyit. “Ini bubur apa gumpalan
lumpur, sih?”
“Dimana-mana bubur memang seperti itu, Bodoh.
Sekarang, makan.”
Bibir Naruto
maju-mundur, menggerutu panjang lebar. Dia mencoba sesuap bubur pertama dan
ekspresinya seolah dia memakan katak hidup-hidup. Mungkin bubur itu akan
dimuntahkannya jika deathglare dari
sang Uchiha tidak menghentikannya.
Dengan sangat susah
payah–dan amat terpaksa–Naruto menelan bubur itu.
Sementara Naruto sibuk
menghabiskan ‘gumpalan lumpur’-nya, kedua obsidian Sasuke terpaku pada bingkai
foto yang ada di meja kecil di sisi ranjang. Itu adalah satu-satunya benda di
kamar itu yang bebas debu. Dia bisa melihat dirinya sendiri disana, bersama
dengan Naruto, Sakura, dan Kakashi. Foto Tim Tujuh.
Senyum tipis
terkembang di bibirnya.
“Hmmph, hmmph.”
Sasuke menoleh saat
Naruto menepuk-nepuk lengannya dengan kasar. Dilihatnya si shinobi pirang itu mencoba menelan suapan terakhir dengan wajah
pucat. Naruto memberi isyarat tangan untuk mengambilkannya minum, dan Sasuke dengan
ogah-ogahan mengambilkannya.
“Sekarang, minum
obat.”
Naruto langsung memasang
mimik horor, tapi Sasuke mengabaikannya. Dia mengangsurkan beberapa butir pil
obat yang dibelinya di Rumah Sakit Konoha barusan dan segelas air.
“Kalau kau ingin
membunuhku, mending lewat pertarungan saja, Sasuke,” keluh Naruto hiperbolis.
“Sudah, minum saja!”
desak Sasuke tak sabar. Naruto meminum obatnya dengan gerutuan-gerutuan panjang–lagi.
Sasuke melipat tangan di depan dada, memperhatikannya dengan intens. “Kau ini
seharusnya banyak makan buah dan sayur.”
“Gah, cukup! Aku sudah
mendengarnya berulang kali dari Kakashi-sensei!”
Naruto menyumpal kedua telinganya dengan tangan, menolak mendengar wejangan
Hidup Sehat Part II ala Sasuke setelah dia mendapatkannya berulang kali dari Kakashi.
“Jangan makan ramen
saja! Makanya, kau jadi bodoh begini.”
“Itu tak ada
hubungannya–”
“Beberapa kandungan vitamin dan zat kimia pada
buah dan sayur terbukti bisa meningkatkan kemampuan otak,” potong Sasuke sambil
menyeringai. Skak mat. Naruto hanya bisa mendumel tanpa bisa memberi serangan
balasan.
“Kau menyebalkan. Kalau sedang irit bicara,
menyebalkan. Tak kusangka kalau sedang banyak bicara, ternyata kau lebih
menyebalkan lagi!”
“Memangnya
gara-gara siapa aku begini, hah?”
“Heh? Aku, ya?”
“Cih.”
.
~ MENJENGUK SEORANG TEMAN ~
.
Warna wajah Naruto
sudah lebih baik–tidak sepucat tadi. Dan kelihatannya, efek samping dari obat
yang diminum Naruto sudah muncul. Si pemuda penggila ramen itu mulai mengantuk, yang membuat Sasuke bersyukur karena hal
itulah yang menghentikan perdebatan panjang tanpa ujungnya dengan Naruto.
Naruto menghempaskan
kepalanya diatas kasur dengan nyaman, lalu memejamkan mata. Mungkin dia sudah
agak baikan dan sekarang butuh istirahat.
Sasuke menatap sang
sahabat lekat-lekat. Alisnya berkerut dalam. Seumur hidup, ini adalah pertama
kalinya dia mengurusi orang sakit. Saat dia masih memiliki keluarga, justru
dialah yang sering diurusi ketika sakit. Dia baru menyadari bahwa merawat orang
yang sakit itu sangat melelahkan, terutama jika Naruto adalah si
orang sakitnya. Namun–
“Sasuke.” Suara parau
Naruto memanggilnya. Rupanya dia belum tidur. Sasuke tak berminat menoleh. Dia
masih asyik berdiri di pintu beranda kamar Naruto, menerawang jauh dengan
angin-angin malam yang memanja tubuh.
“Hn?” respon Sasuke
datar, tanpa mengalihkan pandang dari titik pandangnya.
“Terima kasih sudah
menjengukku.”
Tubuh Sasuke menegang
sejenak. Dia memutar tubuh, menatap senyum tulus di wajah bersimbah peluh itu.
Namun, beberapa detik setelahnya, dia bisa mendengar dengkur halus dari rekan
setimnya. Kecepatan Naruto dalam terjun ke dunia mimpi memang patut diacungi
jempol. Tapi, Sasuke justru bersyukur. Karena saat itu, dia tak bisa menahan
diri untuk tidak tersenyum.
.
.
–namun, itu hal
membuatnya
merasa berguna. Merasa dibutuhkan. Dan menghangatkan hatinya.
“Sama-sama, Naruto.”
.
.
.
.
.
~ FIN ~
.
Iseng publish di blog, nih. Hehe. Biar blog saya nggak sepi begini -_-
.
.
.
OMAKE
.
Esok paginya, Naruto
terbangun dengan tubuh segar bugar. Dia menggeliat seraya menarik kedua
tangannya keatas, lalu menguap lebar. Pusing di kepalanya sudah lenyap tak
berbekas, dan pandangannya tak lagi kabur seperti kemarin. Dia melompat turun
dari ranjang. Cengirannya terkembang saat merasakan tubuhnya sudah bisa bebas
bergerak seperti sedia kala.
Naruto jelas tak akan
melupakan jasa seseorang yang membuatnya sembuh sekarang. Kepalanya menoleh ke
semua sudut, mencari-cari. Dia berlari keluar kamar dan memeriksa tiap ruangan
di apartemennya.
Ah, kelihatannya
Sasuke sudah pulang.
Naruto menghentikan
langkah. Entah bagaimana, dia baru menyadari bahwa apartemennya kini begitu
bersih dan terawat. Tak ada lagi benda-benda berserakan di lantai dan dimanapun
yang bukan pada tempatnya. Bahkan lantai kayunya mengkilap tanpa debu. Semua
pemandangan ini membuatnya ternganga. Dia tak bisa membayangkan bagaimana Sasuke
rela bersusah-payah membersihkan seluruh penjuru apartemen miliknya. Apa itu
hanya karena Sasuke yang perfeksionis, atau ucapan bercandanya kemarin
ditanggapi serius oleh Sasuke? Ah, entahlah. Kadang-kadang pikiran Sasuke bisa
sangat tidak dimengerti.
Naruto tersenyum
lebar. Apalagi saat melihat beberapa onigiri
ukuran besar tersaji diatas piring yang tertutupi oleh plastik, beserta
beberapa buah apel disisinya, serta selembar memo berisi tulisan tangan Sasuke.
.
Mengurusmu itu merepotkan. Jangan sampai sakit
lagi.
P.S.: Makan ini, Baka.
P.S.-nya P.S.: Sekarang kau punya hutang 10
kilogram tomat padaku.
.
Dengan hati riang
gembira, Naruto melahap onigiri
buatan sang sahabat sembari tersenyum kecil. Dia membaca memo itu berulang
kali. Enak! Onigiri ini sangat enak!
Dan tiap ulah Sasuke semenjak kemarin membuat onigiri ini menjadi makanan terenak yang pernah dia makan!
Ujung mata Naruto
berair.
Andai sahabatnya masih
disini, tentu akan dia peluk erat-erat–tak peduli jika nanti terkena chidori sebagai akibatnya.